Minggu, 21 November 2010

Beda Nasib Koruptor di China dan Indonesia [gayindo.forumotion.net]

Cina, medio 1995. Presiden Jiang Zemin menyatakan perang melawan korupsi. Sejurus kemudian, Sang Perdana Menteri Zhu Rongji berujar: Saya telah menyiapkan sepuluh peti mati, sembilan peti untuk koruptor dan satu peti mungkin untuk saya.

Semua elemen di Cina pun gempar. Maklum korupsi telah mewabah di semua lini bumi tirai bambu: militer, pegawai negeri dan swasta, penegak hukum, hingga pejabat tinggi. Tentu saja Zhu berucap itu dengan penuh kesadaran. Itulah jurus preventif perang antikorupsi yang ia mainkan. Ucapan Zhu tak berhenti sekadar sebagai pemanis bibir. Apalagi dijadikan komoditas politik seperti lazim dilakukan pejabat dan politisi Indonesia.

Dengan menempatkan hukum sebagai panglima, pemerintah Cina tak segan menempatkan para koruptor di peti mati yang telah disiapkan Zhu. Maret 2000, kantor berita Cina, Xinhua, melaporkan kasus korupsi Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Changqing. Ia dituduh menerima suap sekitar 660.000 dolar AS (kurang lebih Rp 6,6 miliar, saat itu kurs dolar AS berada di level Rp 10.000). Bahkan sidang yang digelar di pengadilan Nanchang Intermediate People's Court membeberkan kasus korupsi Hu sejak tahun 1995 kala ia berstatus Pejabat Senior di Dewan Negara.

Hu pun di eksekusi mati hanya dalam waktu 24 jam setelah permohonan bandingnya ditolak. Hu hanyalah salah satu koruptor yang menikmati peti mati. Sebelum Hu, hingga 1999 sebanyak 1.263 koruptor mengalami nasib yang sama. Bahkan, total eksekusi hingga 2001 mencapai 4.367 orang. Tak kalah fantastisnya, selama kurun Januari sampai November 2004, pemerintah Cina telah menangkap 4.225 koruptor dengan total kerugian negara hanya 3,8 miliar yuan atau sekitar Rp 4,3 triliun. Bagaimana dengan Indonesia?

Pada dekade yang sama bumi merah putih seolah berjalan di tempat. Padahal puncak gerakan anti-korupsi di Indonesia sudah digaungkan sejak 1999. Penelitian Transparency International (TI) pada 2002 meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 4.

Sementara pada 2003, dari 133 negara, Indonesia ada di urutan ke-6. Dari ribuan kasus yang dilaporkan masyarkat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru belasan yang ditingkatkan ke penyidikan. Sementara, kasus yang dibawa hingga ke pengadilan baru dalam hitungan jari. Thailan pun tak kalah agresifnya dengan Cina. Di bawah panji National Counter Corruption Commision (NCCC) negeri gajah itu tak segan membidik para tikus.

Padahal, lembaga independen ini baru dibentuk 25 April 1999, dan resmi mulai bekerja sejak 18 November 1999. NCCC sebenarnya menggantikan Commision of Counter Corruption (CCC) yang telah ada sejak 1975. CCC dinilai tidak independen. Secara struktural berada di bawah otoritas Perdana Menteri dan karenanya tidak efektif membasmi korupsi. NCCC langsung menggebrak.

Ia menjelma menjadi salah satu lembaga mekanisme akuntabilitas yang dikagumi masyarakat. Penycapaian nyata pun ia tunjukkan. Hingga 2004, 8.000 kasus diterima. Setengahnya (4.000 kasus) langsung ditangani, dan 10 persen kasus sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Tak ayal lembaga ini pun menyeret politisi paling berpengaruh, Menteri Dalam Negeri dan Sekjen Partai Demokrat Mayor Jenderal Sanan Kachornprasat, ke pengadilan.

Berawal dari aduan LSM kecil yang mencium pemalsuan laporankekayaan, NCCC mengungkapnya. Sanan mengaku telah menerima tiga perjanjian kredit selama 1997 sebesar 45 juta bath dari Auto Service Co ( AAS). Sayangnya, kredit itu tak tercatat dalam pembukuan AAS. Walaupun aliran dana tersebut ke rekening Koran Sanan tidak dapat dibuktikan, NCCC sepakat bahwa Sanan telah memalsukan laporan.

Meski di depan Mahkamah Konstitusi (MK) Sanan kukuh tidak melanggar hukum. Pada 10 Agustus 2000, MK mengeluarkan Ketetapan sesuai keputusan NCCC untuk melakukan pemecatan segera Sanan dari seluruh kedudukan politiknya dan melarangnya terjun ke dunia politik selama lima tahun. Patut diambil pelajaran apa yang dilakukan NCCC dan MK dalam kasus ini.

Kedua lembaga ini tidak menetapkan apakah kredit itu nyata atau tidak. Keputusan itu berdasarkan dokumen yang diberikan Sanan tidak mendukung kebenaran atas kredit itu. Sistem akuntabilitas di Thailan dapat dengan mudah mencopot politisi atau pejabat negara, bila dianggap menyelewengkan jabatan, melanggar hukum, korupsi atau memiliki kekayaan yang tidak wajar.

Bahkan, mereka dilarang menduduki jabatan politik atau pemerintahan untuk lima tahun mendatang. Bagimana Indonesia? Entahlah. Thailand juga melengkapinya dengan pemisahan sistem penuntutan dan peradilan pidana korupsi dalam dua bentuk. Untuk kasus korupsi yang melibatkan pegawai birokrasi biasa, kasusnya diproses melalui pengadilan tingkat rendah, dan secara bertingkat bisa dibanding ke pengadilan lebih tinggi hingga Mahkamah Agung (MA).

Tapi untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan politisi, NCCC dapat melakukan penuntutan ke MA. Putusan MA pun bersifat final, satu tahap, tidak bisa dibanding, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Pemisahan itu berdasarkan paertimbangan usia pejabat dan politisi yang pendek, sehingga membutuhkan proses yang pendek. Sistem ini pun dianggap oleh banyak kalangan sebagai upaya revolusioner. Mungkinkah ini terjadi di Indonesia?

Entahlah. Cina dan Thailan menunjukkan kekhasan masing-masing dalam memerangi korupsi. Cina dengan konsistensi dan kecepatan eksekusi, sementara Thailan menerapkan sistem akuntabilitas yang sederhana tapi akurat. Kunci keduanya tetap pada supremasi hukum. Saatnyalah Indonesia belajarlah dari Cina dan Thailand. Eit...bukan belajar korupsi lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar